Ketika Perambah Berbondong-bondong Menanam Hutan Kembali


Kamis, 6 Desember 2018 saya berkesempatan hadir dalam sebuah sharing session yang diadakan di Kedai Kopikirapa. Kedai Kopi yang beralamat di Jalan Kuau Sukajadi, Pekanbaru ini memang rutin menggelar kegiatan sharing session dan diskusi yang mengusung tema-tema inspiratif, menarik dan kaya manfaat. Sharing Session kamis malam itu Kopikirapa bersama lembaga Hutan Riau menghadirkan masyarakat Desa Air Buluh dan Desa Lubuk Ramo yang merupakan desa di sekitar kawasan Hutan Lindung Bukit Betabuh sebagai pembicara. Masyarakat yang dihadirkan merupakan pembalak liar yang kini telah beralih menjadi penjaga kelestarian hutan dengan melakukan penanaman hutan kembali.
Diskusi diawali dengan paparan singkat perwakilan masyarakat yang menceritakan pengalaman mereka sebagai pembalak hingga memutuskan untuk berhenti dan menanam hutan kembali. Salah satu faktor yang menyebabkan mereka berhenti jadi pembalak adalah kesadaran akan pentingnya fungsi hutan terutama untuk menjaga sumber air agar sungai yang menjadi nadi kehidupan di Desa mereka tidak mengering. Disamping itu, menjaga hutan juga penting dilakukan untuk generasi yang akan datang. Diakui juga oleh mereka bahwa menjadi pembalak liar dulu terpaksa dilakukan karena tuntutan ekonomi. Sulit sekali mendapatkan pekerjaan di tempat mereka tinggal, menjadi pembalak adalah pilihan yang paling mungkin dilakukan dan menjanjikan penghasilan yang cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Dengan dorongan dari lembaga Hutan Riau dan Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) setempat, saat ini mantan pembalak tersebut telah mendirikan Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai wadah untuk belajar memanfaatkan hutan tanpa menebang kayunya. Melalui KTH masyarakat belajar memanfaatkan dan mengelola sumber daya hutan selain kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi, Jernang dan pasak bumi diantaranya.


Jernang menghasilkan getah yang memiliki nilai jual tinggi, banyak tumbuh di dalam hutan lindung Bukit Betabuh. Mengambil getah jernang tidak akan menyebabkan kerusakan hutan, terlebih saat ini masyarakat juga mulai membudidayakan tanaman tersebut melalui KTH. Tanaman pasak bumi diolah menjadi minuman berkhasiat, dikemas dengan baik dan dipasarkan dengan nilai jual yang bagus. Kedua tanaman ini menjadi sumber penghasilan baru bagi masyarakat di sekitar Hutan Lindung Bukit Betabuh menggantikan pekerjaan membalak kayu di hutan. Kepala Desa Air Buluh pada kesempata diskusi menyatakan saat ini delapan puluh persen warganya yang dulu adalah pembalak sudah tergabung ke dalam enam buah KTH yang didirikan bersama-sama.
Perjuangan masyarakat tidak berjalan mulus begitu saja, banyak tantangan yang dihadapi. Baru-baru ini pondok KTH yang mereka dirikan dibakar oleh oknum yang tidak senang dengan apa yang mereka lakukan. Kemungkinan ada oknum yang merasa terancam usahanya dengan keberadaan KTH ini. Namun masyarakat tidak menyerah, mereka akan membangun kembali pondok tersebut seperti mereka membangun mimpi untuk dapat hidup berdampingan dengan hutan secara selaras.
Hutan yang lestari sejatinya bukan hanya kebutuhan masyarakat yang berdampingan langsung dengan hutan tersebut, namun merupakan kebutuhan kita bersama. Menyediakan oksigen untuk bernafas, menyerap karbondioksida dan menjadi pertahanan alami terhadap perubahan iklim adalah diantara fungsi hutan yang dirasakan oleh semua manusia. Untuk itu mejaga kelestarian hutan bukan semata tanggung jawab masyarakat di sekitar hutan, melainkan kita semua. Apa yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar Hutan Lindung Bukit Betabuh ini dapat menjadi contoh bahwa kita dapat memanfaatkan hutan tanpa harus memusnahkannya. Manusia dan hutan dapat hidup berdampingan dengan selaras.

Comments

Popular posts from this blog

Wisata Lubang Kolam, Jejak Penjajahan di Bumi Kampar

Ma'awuo Ikan Danau Bokuok

Sungai Bungo, Dusun Terpencil di Belantara Hutan Rokan Hulu Riau