Membawa Toga Ke Puncak Kerinci



Gunung Kerinci (3805 mdpl), puncak tertinggi di Pulau Sumatera ini menjadi salah satu destinasi favorit bagi para pendaki Indonesia bahkan manca negara. Selain merupakan gunung tertinggi di Sumatera, Kerinci juga merupakan gunung api tertingi di Indonesia. Gunung ini terletak di Provinsi Jambi tepatnya di Desa Kersik Tuo, Kecamatan Kayu Aro. Gunung ini menyimpan banyak keindahan dan keunikan yang dapat dinikmati oleh para pendaki, diantaranya adalah keanekaragaman flora dan fauna yang ada di jalur pendakian, pemandangan alam yang sangat menawan serta perkebunan masyarakat yang tertata rapi bertingkat-tingkat menambah eksotisme pendakian. 

Maret 2018 lalu bersama beberapa orang rekan pendaki dari Kota Pekanbaru, saya melakukan pendakian ke Gunung Kerinci. Dari Kota Pekanbaru Provinsi Riau dibutuhkan waktu 12 jam perjalanan untuk sampai ke Desa Kersik Tuo dimana pendakian dimulai. Salah satu rekan pendaki dalam pendakian ini membawa misi memasang toga di puncak Gunung Kerinci.

Kenapa harus membawa toga ke puncak gunung???

Mungkin hal ini dilakukan sebagai simbolisasi keberhasilan atas perjuangan yang telah dilakukan selama masa kuliah guna mendapatkan gelar sarjana. Sebagaimana gelar sarjana merupakan puncak dari perjuangan di masa kuliah yang ditandai dengan prosesi pemindahan toga dari kiri ke kanan saat acara wisuda. Para pendaki juga ingin melakukan ritual ini di puncak gunung sebagai ungkapan gembira atas sebuah pencapaian. Mungkin alasan ini jugalah yang mendasari keinginan salah satu rekan pendaki membawa toga ke puncak  Kerinci.

HARI PERTAMA
Perjalanan mendaki Gunung Kerinci kali ini dimulai dari titik terakhir kendaraan dapat mengantarkan kami, beberapa ratus meter sebelum pintu rimba. Sebelumnya, kami melakukan pendaftaran di pos penjagaan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).  Ketika akan melakukan pendakian, tim yang berjumlah dua belas orang pendaki ini melakukan briefing dan doa bersama agar perjalanan lancar dan diberikan keselamatan. Pendakian dimulai pukul 09.00 wib.

Lima menit perjalanan kami sampai di pintu rimba pada ketinggian 1.800 mdpl. Pintu Rimba merupakan gerbang awal pendakian, berada dalam batas hutan antara ladang dan hutan heterogen sebagai pintu masuk. Di sini ada lokasi shelter dan juga lokasi air kurang lebih 200 meter sebelah kiri. Lintasannya agak landai memasuki kawasan hutan heterogen.

Perjalanan dari pintu rimba menuju shelter satu melalui jalur yang cukup mudah. Belum banyak pendakian panjang yang dilalui.  Selama perjalanan menuju shelter satu kondisi hutan masih sangat baik, pohon-pohon besar  sering dijumpai, juga terdapat pohon-pohon cemara dengan ukuran besar. Pukul 12.00 wib tiba di shelter satu. Perjalanan dari pintu rimba menuju shelter satu melalui tiga buah pos, di masing-masing pos terdapat lokasi yang cukup nyaman untuk beristirahat. Shelter satu berada pada ketinggian 2.500 mdpl dan suhu udara sudah cukup dingin dengan sesekali terdapat kabut tipis. Di shelter satu ini kami menjumpai seekor tupai yang sepertinya sudah terbiasa berinteraksi dengan para pendaki. Tupai ini tidak takut mendekati pendaki untuk mendapatkan makanan.Setelah beristirahat selama tiga puluh menit di shelter satu, perjalanan dilanjutkan kembali menuju shelter dua. Ditargetkan pada hari ini pendakian dapat mencapai shelter tiga untuk mendirikan tenda dan bermalam di sana.

Menuju shelter dua, jalur yang ditempuh sudah cukup berat karna banyak tanjakan terjal dan panjang yang harus dilalui. Pada jalur pendakian banyak terdapat akar-akar kayu yang dapat dijadikan sebagai tumpuan maupun pegangan untuk menambah ketinggian. Untuk pendakian di jalur yang cukup berat, disarankan agar tidak terlalu memaksakan diri. Cukup melakukan pendakian dengan santai dan tetap mengatur ritme pernafasan sehingga energi tetap stabil. Setengah perjalanan menuju shelter dua, vegetasi tumbuhan di sepanjang jalan sudah mulai berubah. Pohon yang tumbuh menandakan ciri khas pepohonan yang hidup di gunung dengan kulit batang yang keras  dan kasar.

Pukul 15.30 tiba di shelter dua. Saat tiba di shelter dua, hujan turun cukup deras sehingga kami memutuskan untuk membuka tenda dan bermalam di shelter dua, bukan di shelter tiga seperti yang direncanakan di awal. Perubahan rencana seperti ini memang sering dilakukan saat pendakian, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Mendirikan tenda di tengah hujan deras dan cuaca dingin mendekati 9 derajat celcius memang menjadi tantangan tersendiri. Ujung-ujung jari terasa perih dan kaku, sehingga sulit menggunakannya secara normal, namun berkat kerjasama tim dan pembagian tugas yang tepat, tenda dapat berdiri dengan baik  dalam waktu tiga puluh menit. 

Kondisi tubuh yang basah akibat hujan berpotensi menyebabkan hypotermia atau kehilangan panas tubuh scara drastis sehingga pendaki merasakan dingin yang sangat kuat dibarengi rasa kantuk. Untuk mencegah hypotermia, harus sesegera mungkin mengeringkan tubuh dan mengganti pakaian basah dengan pakaian yang kering. Kemudian membuat api unggun serta minuman hangat. Shelter dua berada pada ketingian 3100 mdpl. Terdapat sumber air yang cukup memadai di shelter dua.

HARI KEDUA
Pukul tiga dini hari kami terbangun dan bersiap melakukan perjalanan summit attack (pendakian menuju puncak) setelah melewati malam yang sangat dingin karena sleeping bag yang dibawa tidak memadai pada kondisi udara sembilan derjat celcius. Logistik dibawa secukupnya agar beban ke puncak tidak terlalu berat, mengingat sulitnya rute yang akan dilalui. Cukup bawa snack dan bekal minuman hangat.

Rute menuju puncak melewati jalur pendakian yang terjal. Butuh tenaga ekstra untuk menaklukkan jalur dan udara yang semakin dingin serta angin gunung yang bertiup kencang. Satu jam perjalanan kami sampai di shelter 3 yang merupakan areal batu cadas. Di sini banyak pendaki yang mendirikan tenda untuk bermalam. 

Di shelter tiga angin bertiup cukup kencang sehingga tenda-tenda pendaki terlihat bergoyang-goyang, tenda harus didirikan dengan kokoh agar tidak rusak. Tenda yang didirikan berdekat-dekatan dapat menjadi penghalang dingin serta meminimalisir pengaruh angin. 

Semakin ke puncak, angin gunung kerinci terasa semakin dingin. Ujung jari-jari tangan terasa kaku dan kulit wajah mulai perih. Perjalanan ke puncak sebaiknya memang tidak dilakukan terlalu pagi untuk menghindari udara dingin ini. Namun karena alasan ingin melihat matahari terbit (sunrise) para pendaki banyak yang memilih untuk menahan dingin agar dapat sampai ke puncak sebelum cahaya matahari muncul.

Pada pukul 06.30 kami tiba di Tugu Yudha setelah sebelumnya istirahat shalat subuh di perjalanan. Tugu Yudha berada antara shelter 3 dan puncak gunung kerinci (Puncak Indrapura), dibangun untuk mengenang salah seorang pendaki yang hilang di daerah tersebut, Yudha Santika. Dikutip dari buku “Friction: An Ethnography of Global Connection” karya Anna Lowenhaupt, yang bersumber dari tulisan Norman Edwin, Yudha Sentika saat itu berusia 17 tahun. Ia mendaki bersama 6 temannya. Mereka sudah tiba di puncak dan saat turun dari puncak, teman-temannya kehilangan Yudha. Ia menghilang di balik kabut. Mereka tak juga menemui Yudha di tenda tempat mereka bermalam. Sampai akhirnya pencarian dilakukan dan tidak didapatkan hasil apa pun. Jasadnya juga tidak ditemukan.

Pukul 07.30 kami sampai di Puncak Indrapura, titik tertinggi Gunung Kerinci, 3805 meter di atas permukaan laut (mdpl)  dan kami kehilangan moment matahari terbit karena terlambat sampai di puncak.. Total waktu yang ditempuh dari shelter dua menuju puncak indrapura, 4 jam perjalanan. Sudah banyak pendaki yang sampai lebih dulu di puncak, mengabadikan keindahan pemandangan yang disuguhkan alam kerinci.

Setelah beristirahat, rekan-rekan pendaki memulai ritual wajib, berfoto ria. Tak lupa rekan yang membawa toga segera mengeluarkan toganya untuk memulai ritual wisuda di puncak kerinci. baju kebesaran wisudawan dikenakan, topi hitam segi lima disematkan di kepala. Tali toga yang berada di kiri segera dipindahkan ke kanan pertanda berhasil menjadi sarjana. 

Riang gembira ekspresi yang tampak dari rekan-rekan pendaki, terutama yang berhasil wisuda di puncak kerinci. Serasa hilang semua jerih dan payah menahankan dingin saat melakukan pendakian. Seperti halnya usaha terjal yang dilalui bertahun-tahun di bangku kuliah terbayar lunas dengan gelar sarjana yang disandang. Demikianlah sebuah perjuangan, akan hilang rasa jerihnya saat keberhasilan telah diraih.

Hari Ketiga
Hari ketiga kami turun. Perjalanan turun tentu tidak seberat perjalanan mendaki. Dari shelter dua hanya butuh waktu empat jam tiga puluh menit untuk sampai ke pintu rimba, bahkan beberapa rekan sampai lebih dulu. Pendakian Kerinci kali ini memberikan banyak pelajaran bagi kami. Kerinci mengajarkan bahwa sebuah perjuangan memang perlu dirayakan untuk memberikan apresiasi bagi diri sendiri. 

Perjalanan membawa toga ke puncak kerinci merupakan sebuah perayaan. Perayaan atas gelar yang diperjuangkan selama bertahun-tahun.  Letih harus dibayar dengan riang gembira di puncak, namun masih banyak puncak-puncak lain yang menunggu untuk dilalui dan dirayakan. Perjuangan harus terus dikobarkan agar kelak kita layak merayakan sebuah keberhasilan di puncak-puncak pendakian.
Ingin lihat versi video dari perjalanan ini? silahkan klik di sini


NB: Jangan tinggalkan sampah di gunung dan Salam Lestari...!!!

Comments

Popular posts from this blog

Wisata Lubang Kolam, Jejak Penjajahan di Bumi Kampar

Ma'awuo Ikan Danau Bokuok

Sungai Bungo, Dusun Terpencil di Belantara Hutan Rokan Hulu Riau